Allâh عزوجل telah menganugerahkan bagi Rasûlullâh ﷺ kalimat-kalimat istimewa, wasiat-wasiat yang padat lagi mendalam, tutur kata yang paling indah. Barang siapa memiliki hubungan kuat dengan Sunnah Nabi ﷺ dan petunjuk sebaik-baik Rasul ﷺ , niscaya akan selamat di dunia dan akhirat. Keindahan, kedalaman dan urgensi ucapan Rasûlullâh ﷺ tampak salah satunya pada nasehat-nasehat yang Beliau ﷺ sampaikan kepada seseorang yang memang meminta nasehat dan mauizhah kepada Beliau ﷺ . Beliau tanggapi permintaan nasehat seseorang kepada Beliau dengan positif, dengan menjawab dan menyampaikan apa yang dia minta, sebagai bentuk penyampaikan amanat sebagai rasul dan penunaian hak seorang Muslim kepada Muslim lainnya.
Abu Ayyub al-Anshâri رضي الله عنه menceritakan bahwa sesungguhnya ada seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ . Lalu ia mengatakan:
يَا رَسُوْلَ اللَّهِ عِظْنِيْ وَأَوْجِزْ
Wahai Rasulullah, nasehatilah aku dan sampaikan dengan ringkas. Maka, Beliau ﷺ mengatakan:
إِذَا قُمْتَ فِيْ صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّحٍ وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ غَدًا وَأَجْمِعِ اليَأْسَ مِمَّا فِيْ يَدَيِ النَّاسِ
Bila engkau berdiri dalam shalatmu, kerjakanlah shalat layaknya orang yang akan berpisah (meninggal). Dan janganlah kamu berkata-kata dengan ucapan yang kamu akan menyesal karenanya di kemudian hari. Dan mantapkan hati untuk tidak berharap dari apa yang ada di tangan orang-orang”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah. Lihat Shahîhul Jâmi’ no.742).
Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di رحمه الله menyatakan, “Ini merupakan tiga pesan dan nasehat yang luar biasa dan indah. Seseorang yang berkomitmen dengannya, urusannya akan baik dan ia akan beruntung.
Pesan pertama berisi perintah menyempurnakan shalat dan usaha keras untuk melaksanakannya sebaik mungkin. Yaitu dengan mengintrospeksi diri tentang shalat yang akan dikerjakan setiap waktu, menyempurnakan semua hal yang ada di dalamnya, baik hal-hal yang wajib maupun yang sunnah, dan mengusahakan diri untuk mencapai derajat ihsan yang merupakan derajat paling tinggi, yaitu dengan mendirikannya dengan merasa berada di hadapan Rabbnya dan sedang bermunajat kepada-Nya dengan qira`ah, dzikir dan doa yang diucapkan, serta tunduk patuh kepada-Nya dalam berdiri, rukuk, sujud dan ketika berpindah-pindah dari rukun ke rukun lainnya.
Seseorang akan terbantu mencapai tujuan agung ini dengan melatih diri untuk melakukan semua itu tanpa ragu-ragu dan kemalasan hati. Ia pun merasakan pada setiap shalat yang ia kerjakan bahwa itu adalah shalat orang yang akan berpisah dengan dunia, seolah-olah ia tidak akan mengerjakan shalat lagi setelah itu.
Telah dimaklumi bersama bahwa orang akan berpisah ia akan benar-benar bersungguh-sungguh, mengerahkan semua kemampuannya. Ia pun senantiasa mengingat nilai-nilai penting di atas dan menyertakan factor-faktor yang kuat sehingga akan merasakan kemudahan dan terbiasa untuk melakukannya.
Shalat yang dikerjakan seperti ini akan menahan orang yang mengerjakannya dari segala akhlak hina dan mendorongnya untuk menghiasi diri dengan akhlak-akhlak yang indah, karena ibadah shalat tersebut berpengaruh pada dirinya, karena ada peningkatan iman, cahaya hati dan kebahagiaannya dan kemauannya yang penuh untuk berbuat kebaikan.
Sedangkan pesan kedua, tentang penjagaan lisan dan mengawasinya. Sesungguhnya menjaga lisan adalah sentral dan pondasi urusannya. Maka, kapan saja seorang hamba dapat mengendalikan lisannya, niscaya ia akan sanggup mengendalikan seluruh anggota tubuhnya. Dan kapan saja seorang hamba disetir oleh lisannya, niscaya orang tersebut tidak akan mampu menjaga dirinya dari kata-kata yang buruk. Kemudian, urusannya akan kacau di dunia dan akhirat.
Maka hendaknya seseorang tidaklah berbicara kecuali bila ia sudah benar-benar tahu akan manfaat kalimat-kalimat yang diucapkannya bagi agama atau kehidupan dunianya. Ia juga memperhatikan setiap ucapan yang mungkin mendatangkan kritikan dari orang lain atau penyesalan baginya di kemudian hari, hendaknya ia meninggalkannya. Sebab, bila ia melontarkan kata-kata yang menimbulkan hal-hal yang demikian ini, ucapan-ucapan tersebut telah menjeratnya, dan ia pun telah menjadi tawanan kalimat-kalimatnya sendiri. Mungkin saja akan mengakibatkan keburukan padanya yang tidak mampu ia hentikan.
Pesan ketiga, pesan untuk menempa diri bergantung terus kepada Allâh عزوجل dalam urusan dunia maupun akhiratnya. Ia tidak meminta kecuali kepada Allâh عزوجل . Ia tidak betul-betul mengharap kecuali karunia-Nya. Ia pun membiasakan diri untuk berputus[1]asa dari apa yang dimiliki oleh orang-orang. Sesungguhnya sikap berputus-asa ini akan menjadi penjagaan diri. Barang siapa putus-asa dari sesuatu, niscaya ia tidak membutuhkannya.
Sebagaimana ia tidak meminta dengan lisannya kecuali kepada Allâh عزوجل , maka hatinya tidak bergantung kecuali pada Allâh عزوجل . Maka, ia menjadi seorang hamba Allâh dengan sebenar-benarnya, selamat dari penghambaan diri kepada makhluk. Sungguh ia telah merdeka dari penghambaan kepada mereka, dan telah mendapatkan kemuliaan dan kesempurnaan pribadi. Sebab orang yang bergantung pada makhluk, akan mendatangkan kehinaan dan jatuhnya kemuliaan dirinya sesuai dengan tingkat ketergantungannya kepada makhluk. Wallahu a’lam.2
Demikian salah satu contoh kedermawanan Rasûlullâh ﷺ dalam memberi nasehat dan bagaimana Beliau ﷺ menyampaikan nasehat-nasehat penting dan berharga bagi seorang Sahabat رضي الله عنه .
Semoga Allâh عزوجل berikan kita semua kemudahan untuk meneladani Beliau dalam semua petunjuk yang telah Beliau sampaikan dan gariskan. Amin.
Ustadz Abu Minhal. Lc.
2 Bahjatu Qulûbi al-Abrâr; hlm. 167-169.